Kesenjangan digital atau Digital
Divide adalah sebuah fenomena dimana seseorang masih kurang akses terhadap
teknologi yang berkaitan dengan informasi dan komunikasi. Gap terhadap dunia
Tenologi Informasi dan Komunikasi ini bisa saja masih terjadi di dalam
kehidupan dan dalam berbagai aspek kehidupan. Kebanyakan masyarakat masih
merasa teknologi yang berkembang sangat pesat hingga sangat sulit rasanya bila
mengikuti perkembangannya, apalagi dalam beberapa negara di dunia termasuk
Indonesia, penyebaran dari Teknologi Informasi dan Komunikasi masih kurang
merata, hal tersebut juga disebabkan karena kurangnya sosialisasi kepada
masyarakat atau memang faktor ekonomi dari masyarakat itu sendiri.
Menurut seorang pengamat, Yayan Sopyan
pada sebuah artikel dalam web pribadinya, dia menjelaskan apa itu kesenjangan
digital. "Berbicara mengenai kesenjangan digital berarti
berbicara mengenai gap antara kelompok masyarakat yang bisa menikmati teknologi
digital -sebagai alat untuk bekerja, berkreasi, berkreativitas, dan lain
sebagainya- dan menikmati keuntungan-keuntuingan yang diberikan oleh teknologi
digital, dan kelompok masyarakat yang sama sekali tidak mencicipi itu. Itulah
yang disebut kesenjangan digital." Yayan Sopyan pada web pribadinya yang
di post pada, Senin, 08 April 2002 07:00.
Kesenjangan Digital tidak hanya
dapat dibuktikan dengan kurangnya pemahaman terhadap teknologi secara mendasar
seperti contohnya seseorang yang takut menggunakan laptop atau komputer karena
takut rusak karena harganya yang masih terhitung mahal oleh sebagian orang yang
terjebak dalam fenomena kesenjangan digital. Hal lain yang bisa dikatakan
kesenjangan digital adalah kurang pahamnya penggunaan dari sarana sosial media,
bila ada sebagian orang yang takut menggunakan komputer karena berbagai alasan,
sebagian lainnya juga diisi oleh mereka yang masih menggunakan jaringan
internet atau media sosial secara tidak maksimal sehingga mereka tidak secara
mendasar memahami apa guna dari TIK itu sendiri.
Faktor Penyebab Kesenjangan Digital
Hal ini bisa terjadi karena berbagai
hal. Jan Van Dijk dari Utrecth University membagi faktor penentu mengapa
terjadi kesenjangan digital, yakni:
1. Kurangnya pengalaman digital
dasar yang diakibatkan oleh kurangnya minat, kecemasan terhadap komputer dan
tidak memperbaruhi minat terhadap teknologi baru (akses mental)
2. Tidak memiliki komputer dan
jaringan internet (akses bahan )
3. Kurangnya keterampilan digital
karena pendidikan tidak cukup, dan tidak pula didukung oleh lingkungan
sosialnya (keterampilan akses)
4. Kurangnya kesempatan penggunaan
yang signifikan atau distribusi TIK yang tidak merata (akses penggunaan).
Dalam blog bppn juga dijelaskan hal
yang sama, dalam blog tersebut dijelaskan bahwa ada empat faktor yang enjadi
penyebab terjadinya kesenjangan digital yakni: Infrastruktur, kekurangan skill
(SDM), kekurangan isi atau materi (konten), kurangnya pemanfaatan dari internet
itu sendiri.
Dari keterangan diatas, dapat
diketahui bahwa kesenjangan digital juga sempat terjadi di Amerika Serikat dan
Eropa pada tahun 1990-an, hal tersebut dikarenakan beberapa faktor yang
dikatakan diatas. Faktor penentu utama dalam hal ini adalah kurangnya pemahaman
dan kurang meratanya ekonomi dan sosialisasi dari pemerintah dan pihak yang setidaknya
melakukan inisiatif dalam hal ini. Sementara bagaimana dengan Kesenjangan
Digital di Indonesia? di Indonesia jelas masih terasa kesenjangan digital yang
cukup lebar antara masyarakat dengan perkembangan digital yang ada. Mari kita
mulai analisis Kesenjangan Digital di Indonesia dari faktor:
1. Infrastruktur
Infrastruktur adalah hal pentin
dalam memenuhi sarana teknologi, sarana disini bisa dimasukan dalam poin-poin
khusus seperti tersedianya jaringan listrik yang baik di suatu daerah, jaringan
telekomunikasi yang baik yang jadi penentu apakah jaringan internet dapat
tersambung dengan baik di suatu daerah. Selain itu faktor infrastruktur ini
juga bisa menyangkut perangkat keras dan lunak (program) dari sebuah piranti
digital seperti komputer, smartphone dan lain sebagainya.
Infrastruktur lain juga mempengaruhi
beberapa aspek seperti salah satunya pendidikan. Infrastruktur TIK dalam dunia
pendidikan yang tidak merata sebaiknya diperbaiki sehingga terjadi pembenahan
kesenjangan digital sejak dini. Dana pembangunan dalam dunia pendidikan yang
tidak teratur mengakibatkan masih ada saja sekolah yang tidak memiliki sarana
lab komputer dan akses internet, bila masih banyak hal seperti itu terjadi di
daerah, bagaimana kesenjangan digital akan menipis dimasa depan. Jangankan Lab,
gedung sekolah yang terancam rubuh saja masih banyak dan tersebar di berbagai
daerah.
2. Kekurangan Skill SDM
Kekurangan Skill SDM disini bisa
dikatakan sebagai minat dan kemampuan dari seseorang untuk menggunakan sarana
digital. Masih banyak masyarakat yang merasa gugup, takut sehingga enggan
menggunakan sarana digital seperti komputer atau laptop. Sebagian mereka masih
tidak ingin menanggung resiko kerusakan dari sarana digital yang tergolong
mahal sehingga bila rusak tentunya akan menghabiskan uang yang banyak pula bila
rusak.
Bila diperhatikan lebih dalam lagi
berarti hal yang mempengaruhi skill SDM dalam menggunakan sarana digital bisa
datang dari kesenjangan ekonomi dan kurangnya sosialisasi atau pemberian
pemahaman kepada masyarakat tentang penggunaan sarana digital.
3. Kekurangan Isi Konten
Kekurangan konten yang paling
terbaca disini adalah masih banyaknya masyarakat dengan penggunaan konten di
sebuah sarana digital. Hal yang menjadi poin utama dalam permasalahan konten
ini adalah kurangnya konten bahasa Indonesia dalam softwere digital yang ada.
Mungkin di daerah yang masih berdekatan dengan kota-kota besar sudah banyak
masyarakat yang memahami bahasa Inggris sehingga tahu bagaimana cara
menggunakan aplikasi dalam sarana digital tertentu, tetapi bagaimana kabar dari
saudara-saudara kita di daerah seperti yang disebutkan diatas, mereka yang
masih belum memiliki jaringan Internet, bahkan listrik. Apakah mereka bisa
paham menggunakan sarana digital yang di dominasi oleh perangkat berbahasa
asing (Inggris).
4. Kekurangan dalam Penggunaan
Internet Sendiri
Kesenjangan Digital ternyata tidak
hanya berbicara mengenai sarana dan skill. Tetapi penggunaan Sarana digital
dengan lebih bijaksana dan memberikan manfaat yang lebih besar untuk
kesejahteraan informasi pada masyarakat. Internet dan jaringan Telekomunikasi
saat ini bukan hanya untuk menghubungkan antara satu orang dengan kerabat di
tempat yang jauh atau game online. Tetapi kemampuan digital saat ini juga bisa
untuk mengakses informasi mengenai hal terkini dan memberikan banyak informasi
yang sifatnya memberikan edukasi kepada khalayak. Sarana digital akan sangat
berguna dan bermanfaat bagi masyarakat bila mereka peham dan mengerti tentang
penggunaanya.
Bila diperhatikan saat ini sudah
banyak memang mereka yang menggunakan sarana TIK untuk melakukan berbagai hal,
namun banyak pula diantaranya masih terlihat keganjilan-kegajilan seperti
contoh kasusnya adalah banyak sekali saat ini akan-anak yang berhasil mengerti
cara menggunakan komputer dan penggunaan internet dan hubungan jaringan LAN
dengan pahamnya mereka menggunakan jejaring sosial dan bermain game
online, tetapi, hanya itu yang bisa mereka lakukan, sementara untuk pemanfaatan
lain masih belum bisa diperhitungkan.
Langkah Untuk Mempekecil Jarak
Kesenjangan Digital
Dari berbagai faktor yang
mempengaruhi terjadinya kesenjangan digital dapat diketahui bahwa saat ini
masyarakat masih butuh bimbingan dari pemerintah dan berbagai pihak yang merasa
bertanggung jawab. Pemerataan dari setiap daerah seharusnya semakin di
tingkatkan sehingga tidak ada lagi ketimpangan yang nantinya akan memperbesar
jarak dari kesenjangan digital di Indonesia. Sarana harus semakin ditingkatkan
dan sama rata antara kota dengan daerah, seperti listrik dan jaringan
telekomunikasi, dengan demikian salah satu faktor dari penyebab kesenjangan
sosial sudah bisa diselesaikan, yaitu faktor infrastruktur.
Masyarakat masih mebutuhkan bantuan
dalam hal ini adalah pengenalan terhadap dunia digital. Sehingga tidak ada lagi
diantara meraka yang masih menyalah gunakan sarana digital untuk melakukan
berbagai hal yang merusak moral. Penyuluha dan pemahaman kepada masyarakat
adalah hal penting untuk membentuk masyarakat yang lebih bijak dalam
menggunakan sarana digital di masa depan.
Knowledge Divide ..??
Kesenjangan Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Kognisi
Informasi
Isu kesenjangan ilmu pengetahuan selalu berkaitan dengan struktur
kognisi masyarakat di suatu wilayah. Keadaan tersebut memicu sisi pandang
kognitif cognitive viewpoint yang beragam dari masyarakat dalam kaitannya
dengan pemrosesan informasi. Seperti diutarakan oleh M. De Mey (1977) dalam
Pendit (2006), pemrosesan informasi selalu diikuti oleh pengkategorian dan
pengenaan konsep yang pada hakikatnya merupakan model/tiruan tentang dunia
sekeliling. Model ini nantinya akan menghasilkan struktur pengetahuan atau
struktur kognisi yang berkembang di masyarakat. (Pendit, 2006: 24).Informasi
yang diterima masyarakat memiliki perbedaan dan keragaman intrepretasi
(misrepresentasi). Penyebab utama misrepresentasi tersebut dapat disebabkan
oleh penerapan Knowledge Management System (KMS) yang tidak efektif. KMS
merupakan sistem yang mengakomodir suatu pengetahuan masyarakat dalam sebuah
organisasi, lembaga, atau negara. Chinho Lin (2005) mengemukakan bahwa KMS
sangat memengaruhi kesenjangan ilmu pengetahuan (knowlege gap)
masyarakat. Menurut Lin, teradapat empat aspek kesenjangan yang sering muncul
pada sebuah organisasi, lembaga, atau negara yang diistilahkan sebagai knowledge-gap
framework. Keempat aspek kesenjangan ilmu pengetahuan tersebut adalah; strategic
aspect (strategi), implementation aspect (implementaasi), plan
aspect (perencanaan), dan perception aspect (persepsi).
Tulisan ini mengulas tiga artikel yang memberikan data dan fakta
seputar kesenjangan ilmu pengetahuan dari keempat aspek di atas. Pertama, artikel
mengenai kesenjangan ilmu pengetahuan pada masyarakat marjinal. Artikel yang
diulas pada tulisan ini diambil dari Jurnal Al-Maktabah Vol.4 dengan berjudul “Kemiskinan
Informasi pada Masyarakat Marjinal di Indonesia” yang ditulis oleh Laksmi
(2004). Kedua, artikel yang mambahas tentang kesenjangan pengetahuan
dalam bayang sejarah. Pembahasan kedua dilakukan dengan menganalisa sebuah
artikel dari Harian Kompas yang berjudul “Dokumen Penting Terbengkalai
Terkait Rendahnya Kesadaran Sejarah.”
Ketiga, analisa mengenai
kesenjangan ilmu pengetahuan dan warisan budaya lisan. Analisa dilakukan
berdasarkan artikel yang ditulis Sapto Raharjo (2003) yang berjudul, “Kesenjangan
Antargenerasi dalam Pemahaman Budaya: Upaya Menjembatani Kesenjangan Melalui
Siaran Radio Etnik”. Keseluruhan artikel tersebut diulas berdasarkan
pendekatan isu kesenjangan ilmu pengetahuan di masyarakat. Ulasan dimulai dari
sisi pandang kognitif masyarakat yang kemudian dikaitkan dengan aspek
kesenjangan ilmu pengetahuan sebagai benang merah dari ketiga artikel.
Kesenjangan Ilmu Pengetahuan pada Masyarakat
Marjinal
Katerkaitan antara struktur kognisi dan kesenjangan ilmu
pengetahuan akan memunculkan dinamika beragam yang berakibat pada persolan
kemiskinan informasi dan kesadaran informasi masyarakat. Tulisan Laksmi dalam
Jurnal Al-Maktabah Vol.4 yang berjudul “Kemiskinan Informasi pada Masyarakat
Marjinal di Indonesia” menjelaskan bagaimana kebutuhan informasi masyarakat
Indonesia belum sepenuhnya terpenuhi. Dijelaskan Laksmi, salah satu faktor
kemiskinan informasi tersebut memaksa masyarakat untuk selalu bergantung pada
bantuan pemerintah atau orang lain. (Laksmi, 2004: 93).
Tulisan tersebut menitikberatkan pada ketersediaan informasi pada
masyarakat marjinal di Indonesia. Fokus utama adalah pada kesadaran pentingnya
pembangunan masyarakt informasi. Situasi yang dijelaksan Laksmi di atas
memberikan kerangka penyebaran informasi melalui model yang secara langsung
menjembatani kesenjangan (gap) informasi di masyarakat. Artinya, proses
penyebaran informasi yang sampai pada masyarkat memiliki keterkaitan dengan
pembentukan artian (meaning), bukan hanya sebagai manipulasi simbol
semata. Hal ini seirama dengan pendapat Brookes, Belkin, dan Wersing – yang
mengembangkan pandangan De Mey – tentang teori cognitive viewpoint.
Pendapat Brookes, Belkin, dan Wersing menekankan pada kondisi kognitif
perorangan (individual cognitive states) yang menjadi dasar kesadaran
informasi masyarakat.
Telaah Laksmi di atas juga menemukan berberapa knowledge gap
yang diakibatkan kondisi kognitif perorangan (individu) dalam masyarakat
marjinal yang – seolah-olah – jauh dari jangkauan ilmu pengetahuan. Dari data
yang ditemukan, terlihat beberapa aspek strategi dan aspek perencanaan
penyebaran informasi yang cenderung memperlihatkan kesenjangan. Hal itu bisa
dilihat pada beberapa temuan Laksmi dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan
kesehatan.
Temuan Laksmi tersebut mengindikasikan kesesuaian informasi yang
diterima masyarakat dan ilmu pengetahuan yang dimiliki masyarakat. Secara
sederhana dapat diartikan bahwa penggunaan teknik diseminasi informasi
seharusnya sesuai dengan kondisi struktur kognisi masyarakat marjinal. Salah
satu faktor yang harus diperhatikan dalam proses diseminasi informasi adalah
kondisi struktur kognisi masyarakat. Struktur kognisi tersebut dapat dilihat
dari segi pendidikan, budaya, gaya hidup, dan sebagainya. Jika ditinjau dari
segi socio cognitive, temuan Laksmi jelas memberikan wacana perkembangan
teknologi yang jauh lebih cepat berkembang daripada kemampuan kognisi
masyarakat. Keadaan demikian akan memunculkan fenomena baru berupa degradasi
informasi, yaitu penafsiran informasi yang sampai kepada masyarakat tidak
diterima secara utuh dan bahkan salah. Jika hal tersebut tetap dibiarkan,
kesenjangan ilmu pengetahuan diantara masyarakat akan terus dan akan semakin
kompleks.
Secara tidak langsung, dalam tulisan tersebut juga menyiratkan
misrepresentasi antara masyarakat, pemerintah, dan pekerja informasi – terutama
media masa. Bentuk misrepresentasi tersebut dapat berupa eksklusi maupun
marjinalisasi. Bentuk eksklusi merupakan misrepresentasi yang
menggambarkan seseorang, suatu kelompok atau gagasan tertentu, namun dikucilkan
dalam pembicaraan. Mereka dibicarakan dan diajak bicara, tapi mereka dipandang
sebagai buruk dan bukan bagian dari kita. Dalam kasus masyarakat marjinal,
Laksmi memberikan contoh kekurangan informasi dari berbagai aspek (kesehatan,
pendidikan, dan ekonomi). Bentuk misrepresentasi eksklusi terjadi ketika
pemerintah melakukan sosialisasi program kesehatan, pemerintah kurang melakukan
pendekatan terhadap aspek kognitif masyarakat marjinal yang lebih cenderung
‘nyaman’ dengan praktek perdukunan. Secara langsung, pola tersebut membuat
perdukunan dipandang tidak ilmiah dibandingkan ilmu kedokteran. Keadaan ini
memicu kesenjangan informasi di masyarakat.
Kedua, misrepresentasi dalam bentuk marjinalisasi, yaitu
menggambarkan pihak lain sebagai buruk, tanpa memilah pihak ‘kita’ dan mereka.
Sudah menjadi tradisi masyarakat marjinal untuk menyandarkan kebutuhan
kesehatan, pendidikan, dan sebagainya kepada tokoh masyarakat. Dengan demikian,
model komunikasi juga diharuskan sesuai kultur masyarakat tersebut. Tidak
mungkin digeneralisasikan dalam sebuah model yang bersifat global – yang pada
akhirnya memunculkan kesenjangan-kesenjangan baru.
Kesenjangan Pengetahuan dalam Bayangan Sejarah
Lebih lanjut mengenai kesenjangan ilmu pengetahuan dan cognitive
viewpoint masyarakat, sebuah artikel yang dimuat di Kompas, “Dokumen
Penting Terbengkalai Terkait Rendahnya Kesadaran Sejarah” merupakan wujud
nyata (representasi) kesenjangan ilmu pengatahuan di kalangan masyarakat.
Artikel tersebut mengungkap pendapat ahli sejarah mengenai kesadaran masyarakat
terhadap dokumen kesejarahan. Persoalan sejarah selalu berkaitan dengan sumber
sejarah, baik berbentuk tulisan maupun lisan. Masyarakat Indonesia, menurut
pandangan sejarahwan Anhar Gonggong dan Asvi Warman Adam, masih belum memiliki
kesadaran tentang arti penting sejarah. Seperti contoh dokumen pemerintahan
yang berhubungan dengan pemilu. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui lembaga
pemerintahan seperti Panitia Pengawas Pemilu yang tidak memiliki dokumen
pengawasan pemilu sejak tahun 1982-1997. Selanjutnya, Anhar Gonggong juga
menyatakan bahwa masyarakat Indonesia lebih menyukai sejarah lisan – terutama
cerita tentang individu. Keadaan inilah yang menyebabkan perhatian terhadap
teks-teks sejarah kurang mendapat penghargaan.
Realita kesadaran informasi kesejarahan di atas, dalam kajian
teori kognitif informasi, dapat dilihat dari sisi cognitve style dari
masyarakat. Secara terperinci G. Pask dan timnya mengemukakan bahwa terdapat
dua gaya kesadaran informasi masyarakat pada umumnya. Pertama, gaya holist
yang mengaitkan berbagai topik sejak penerimaan informasi, yang tentunya
diketahui dan dipelajari melalui dokumen-dokumen yang berkaitan – terutama
kesejarahan. Dalam konteks kesejarahan suatu bangsa dan negara, seharusnya dokumen
yang bersifat strategis harus dilestarikan. Tujuannya adalah untuk dasar
pengambilan kebijakan kenegaraan yang menentukan arah perjalanan suatu bangsa.
Anhar Gonggong mengistilahkan, “Dokumen berfungsi pula untuk memperpanjang
ingatan bangsa..” Selain itu, penyimpanan dokumen tidak harus melulu pada Pusat
Arsip, Depo Arsip, dan sebagainya. Melainkan juga harus disimpan di
masing-masing lembaga penting, misalnya KPU, kementerian-kementerian, dan
sebagainya.
Kedua, gaya serialist
yang cenderung menggunakan pendekatan lokal dan berkonsentrasi pada berbagai
topik secara terpisah terlebih dahulu. Jika pada bagian pertama, sejarahwan
Anhar Gonggong menyampaikan isu sejarah kebangsaan yang menghadapi dilema
kesadaran pendokumentasian, pada bagian kedua dipertajam dengan pendapat
sejarahwan Asvi Warman Adam yang ‘kesal’ dengan akal-akalan dalam pendidikan
sejarah puluhan tahun belakangan ini. Artinya, selama era Orde Baru, kultus
kesejarahan bangsa sengaja disampaikan dengan mengusung individu. Keadaan
inilah yang menyebabkan bukti-bukti sejarah semakin terpinggirkan. Tidak hanya
artefak, naskah, bahkan bangunan bersejarah pun mulai terabaikan. Asvi
menegaskan jika kunci sejarah itu hilang, masa lalu bangsa akan tetap gelap.
Tidak menutup kemungkinan keadaan tersebut akan menimbulkan kesenjangan ilmu
pengetahuan pada masyarakat – yang diboncengi hal-hal yang seolah-olah memecah
kebenaran sejarah melalui propaganda dokumen-dokumen kesejarahan. Akibatnya,
terjadi chaos dalam konstruksi kognisi masyarakat sehingga menimbulkan
misrepresentasi dalam bentuk marjinalisasi hingga deligitimasi informasi yang
diterima masyarakat.
Pembahasan mengenai kesenjangan pengetahuan sejarah di atas
mengindikasikan kesesuaian antara aspek strategi yang dirancang oleh pemerintah
dan persepsi masyarakat tentang penting atau tidaknya memelihara dokumen
sejarah. Fakta yang diutarakan pada artikel di atas menyebutkan bahwa terjadi gap
yang cukup jauh antara masyarakat dan sistem ilmu pengetahuan (knowledge
management system) yang dijalankan oleh pemerintah.
Warisan Budaya Lisan dan Penafsiran Kesenjangan
Ilmu Pengetahuan
Selain dalam bentuk dokumen, artefak, dan benda kepurbakalaan,
informasi juga dapat berupa tradisi lisan maupun bentuk eksplorasi manusia
berupa musik. Mayoritas masyarakat indonesia mengenal dan mempunyai musik etnik
yang sangat banyak jumlah dan jenisnya. Sapto Raharjo (2003)
mendeskripsikan kesenjangan informasi dalam hal pemahaman budaya antargenerasi
yang berkaitan dengan musik etnik (daerah). Musik adalah salah satu warisan
budaya bagi bangsa Indonesia yang sangat penting. Kekayaan warisan musik
Indonesia sangat banyak. Namun, belum semuanya didokumentasikan dengan baik,
sehingga masih banyak warisan musik yang luput dari perhatian. Selain itu,
belum adanya lembaga yang menggawangi dan menjadi pusat dokumentasi musik
etnik, merupakan hambatan dalam menumbuhkan kesadaran akan pentingnya
dokumentasi musik warisan budaya ini.
Raharjo memberikan stimulus yang menjembatani kesenjangan tersebut
melalui siaran radio lokal dengan tafsiran bahwa potensi musik etnik akan
menggugah pendengar dari sebuah etnik tertentu. Potensi musik warisan budaya
sebenarnya dapat dimaksimalkan dengan menggandeng stasiun radio. Biasanya,
setiap daerah memiliki minimal satu stasiun radio. Melalui diskotek
(tempat penyimpanan materi musik), radio sebenarnya melakukan proses
pendokumentasian, sehingga pendokumentasian tidak hanya bersifat sentralisasi
(terpusat). Sayangnya, apakah semua stasiun radio mampu dan mau menjalankan
fungsi tersebut?
Setidaknya terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan belum
maksimalnya fungsi dokumentasi pada stasiun radio, diantaranya adalah; wawasan,
kesadaran, kemampuan SDM, dan ruang siaran (on air) yang belum baik
dalam hal dokumentasi musik. Selain itu, radio sebagai sebuah organisasi
komersial juga memiliki pandangan bahwa dunia mereka adalah dunia bisnis.
Artinya mereka lebih suka melayani kebutuhan musik yang sedang trend dan
hits daripada mengelola dokumentasi warisan musik budaya. Pasalnya,
pendengar radio lebih senang dengan sesuatu yang baru, belum ada sistem
pengenalan yang baru (masuk dalam struktur kognisi masyarakat), dan anggapan
bahwa musik adalah yang sekarang mereka dengar. Pemerintah juga mulai menaruh
perhatian dengan menyusun undang-undang penyiaran – yang dalam isinya terdapat
aturan tentang radio publik dan radio komunitas.
Realitas yang dikemukakan Raharjo di atas memiliki keselarasan
dengan pendapat Webster (2005) seputar masyarakat informasi. Berdasarkan fokus
utama permasalahan yang diungkapkan Raharjo di atas, setidaknya dapat
dikategorikan sesuai dengan lima perhatian khusus sebagai berikut:
- Teknologis : Masyarakat sering berhadapan dengan perubahan teknologi di bidang media informasi, keadaan demikian yang menjadikan kemasan media musik antargenerasi mengalami perbedaan dalam hal kualitas dan kemasan musik itu sendiri. Akibatnya, kesan ‘kuno’ menjadi hal wajar bagi generasi baru dalam memandang musik etnis.
- Ekonomi: Seperti dijelaskan Raharjo, perusahaan penyiaran radio juga memiliki kepentingan bisnis dalam menjalankan aktivitasnya. Artinya musik dianggap sebagai komoditas dagang yang mampu menghasilkan keuntungan. Oleh karena itu, peran stasiun radio menjadi terganggu dalam hal dokumentasi musik etnis dan kehadiran musik kontemporer yang bernilai bisnis (keuntungan).
- Pekerjaan: Keterkaitan profesionaltas dan SDM yang belum maksimal. Hal ini bisa jadi merupakan titik awal kesenjangan ilmu pengetahuan (konwledge gap) antargenerasi. Alasannya, SDM merupakan kunci penting sebagai service sector dalam penyebaran informasi dan ilmu pengetahuan serta membangun cognitive viewpoint dalam masyarakat. Dari hal ini kemudian akan muncul struktur tenaga kerja/profesional yang menjadi domain penting pada masyarakat informasi.
- Spasial (spatial): Pengertian asli dari konsep ini berkenaan dengan jaringan (network) dalam masyarakat. Kesadaran adanya jaringan tersebut, dalam kasus musik etnis, cenderung melibatkan jaringan radio yang tersebar di daerah-daerah. Keberadaan radio-radio daerah inilah yang perlu mendapatkan perhatian pemerintah. Raharjo di atas mengungkapkan bahwa kepedulian pemerintah baru saja muncul dengan penyusunan Undang-Undang Penyiaran.
- Kultural: Aspek ini melihat jumlah informasi yang beredar di masyarakat dan sejauh mana informasi tersebut memengaruhi masyarakat itu sendiri. Dalam kasus musik etnis di atas, jelas bahwa pengaruh musik ‘baru’ secara perlahan memudarkan kecintaan musik etnik. Keadaan ini memang sangat mudah dirasakan, namun jarang sekali diukur.
Kesimpulan
Perkembangan masyarakat dalam skala besar memang berawal dari
perkembangan struktur kognisi informasi yang dimiliki masyarakat itu sendiri.
Peran dan tugas agen perubah – dalam hal ini profesional informasi, lembaga
informasi, dan pemerintah – sangat menentukan perubahan tersebut. Perubahan
terjadi selalu diikuti dinamika kesenjangan informasi/ilmu pengetahuan.
Analisis ketiga artikel di atas cukup memberikan skema kesenjangan ilmu
pengetahuan dari berbagai variabel yang ikut berperan di dalamnya. Proses
penyebaran informasi seharusnya dilakukan dengan memperkecil kemungkinan
terjadinya misrepresentasi yang berakibat pada degradasi informasi. Hal ini
perlu dilakukan guna mereduksi kesenjangan (gap) ilmu pengetahuan yang
muncul di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, kesadaran informasi di
tengah-tengah masyarakat akan terbangun dengan sendirinya jika struktur kognisi
informasi yang terbangun tidak jauh berbeda antara kelompok masyarakat satu
dengan lainnya.
Secara luas, masyarakat Indonesia sedang berhadapan dengan arus
perkembangan – dapat disebut porses pendewasaan – kesadaran informasi. Tentunya
perkembangan tersebut tidak terlepas dari munculnya fenomena baru di
masyarakat. Oleh karena itu, sinergitas pemerintah dan lembaga informasi harus
lebih aktif berperan dan memberikan perhatian khusus kepada kebutuhan informasi
masyarakat. Terutama perhatian terhadap pola perkembangan masyarakat dalam hal
teknologi, ekonomi, pekerjaan, spasial, dan kultural. Dengan demikian,
kesenjangan ilmu pengetahuan antar-masyarakat dapat ditekan sehingga perbedaan
ilmu pengetahuan antar-masyarakat tidak terlalu signifikan. Selain itu,
pemegang kuasa (pemerintah) juga perlu memperhatikan empat aspek dalam knowledge-gap
framework, sehingga strategi, perencanaan dan persepsi terhadap informasi
dapat diterima secara baik oleh masyarakat.
sumber:
Penyebab Terjadinya Kesenjangan
Digital, Senin, 06 Juli 2009
The Digital Devide, As A Complex Dynamyc Phenomenon, Jan van
Dijk (Utrecht University) and Ken Hackern (New Mexico State University)
Dokumen Penting Terbengkalai Terkait Rendahnya Kesadaran Sejarah. 2003. dalam Harian Kompas cetak.
Laksmi. 2004. “Kemiskinan Informasi pada Masyarakat Marjinal
Indonesia”, dalam Jurnal Al-Maktabah. Vol.4, No.5 (hlm. 93-104).
Lin, C., Jong-Mau Yeh, & Shu-Mei Tseng. 2005. Case study on
knowledge-management gaps. Journal of Knowledge Management, 9(3),
36-50. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/230332079?accountid=17242
Pendit, Putu L. 2006. Ragam Teori Informasi. dalam seminar
di Perpustakaan Universitas Indonesia 19 September 2006.
Raharjo, Sapto. 2003. Kesenjangan Antargenerasi dalam Pemahaman
Budaya: Upaya Menjembatani Kesenjangan Melalui Siaran Radio Etnik. Warisan
Budaya Tak Benda. Jakarta: PPKB-LIPI.
Wilson, C. S. 1999. “Infometrics” dalam Annual Review of
Information Science and Technology. Vol. 34. Medford NJ: Information Today
Inc, Hal. 101-241.